Warga Tionghoa di Indonesia sering dikira sukses dan berduit oleh banyak orang. Dari sini, banyak orang ingin mencontoh laku hidup warga Tionghoa supaya bisa terjadi hal serupa. Sebut saja, seperti kerja keras, hidup hemat, dan sebagainya.
Namun, sejarawan Ong Hok Ham mengatakan, kesuksesan keturunan Tionghoa di Indonesia bukan hanya semata-mata karena kerja keras dan hidup hemat, melainkan juga terjadi berkat kebijakan rasialis kompeni.
Apa maksudnya?
Hitung mundur ke masa kolonial saat pemerintah VOC membuat kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel.
Secara terminologi, Wijkenstelsel adalah kebijakan pembagian wilayah berdasarkan kelompok etnis. Sementara Passenstelsel, berupaya mengisolasi kelompok etnis agar tak bisa berpergian. Meski disebut “kelompok etnis”, warga etnis Tionghoa-lah yang paling berdampak.
Ini bisa terjadi karena pada 1740 terjadi gesekan antara kedua kelompok hingga berujung pada pembantaian orang Tionghoa oleh VOC. Maka, agar kejadian tak terulang, VOC membuat pengelompokan (Wijkenstelsel) dan pembatasan (Passenstelsel). Tujuannya adalah untuk mengawasi orang Tionghoa secara lebih ketat, agar tak lagi berulah.
Kebijakan awalnya hanya terjadi di Batavia, tapi perlahan meluas ke daerah lain, seperti Semarang, Rembang, Yogyakarta, dan sebagainya. Benny G. Setiono di Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2003: 132) menyebut, pelaksanaan secara intensif mulai berlangsung saat tanam paksa (1830-1870).
Praktiknya, orang Tionghoa di Jawa sama sekali tak bebas. Mereka harus berada dalam satu wilayah yang sudah ditentukan pemerintah. Jika ingin keluar wilayah, maka harus meminta izin terlebih dahulu. Izin tersebut harus disertai jelas: kemana, sama siapa, pergi naik apa, dan berapa lama.
Lalu jika diizinkan, mereka harus membayar biaya perizinan. Apabila nekat melanggar, siap-siap saja dikenakan denda belasan gulden hingga hukuman penjara. Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa (2005: 45), semua itu membuat mereka terisolasi, tak dapat masuk ke daerah lain, hingga sulit berinteraksi dengan penduduk pribumi.
Namun, pada sisi lain isolasi tersebut membawa berkah. Mereka yang berprofesi sebagai pedagang jadi makin solid. Kemampuan berdagang jadi makin terasah. Tak jarang, hubungan mereka berlanjut ke pernikahan.
Semua ini pada akhirnya melahirkan istilah yang disebut Ong Hok Ham sebagai “Modal nikah dengan modal”. Artinya kepercayaan yang berhasil mengawinkan modal, sehingga menciptakan modal baru yang mendorong kekuatan ekonomi.
“Tak pelak lagi terjadilah ‘modal nikah dengan modal’ dan menumbuhkan kapitalisme di Kampung Cina,” tulis Ong dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018: 139).
Dari sinilah, kampung Cina menjadi pusat ekonomi baru di perkotaan. Sekaligus juga menjadi tempat lahirnya miliarder-miliarder baru, sebut saja seperti Raja Gula Oei Tiong Ham yang jadi orang terkaya di Hindia Belanda abad ke-20.
Kebangkitan kapitalisme di Kampung Cina kemudian melahirkan pandangan masyarakat semua orang Tionghoa sudah pasti kaya raya dan eksklusif yang membuatnya berbeda dengan kelompok pribumi. Apalagi, dalam perjalanan, pandangan tersebut juga menghasilkan jurang pemisah antara orang Tionghoa dan penduduk lain.
Semua pandangan ini kemudian bertahan sampai sekarang. Padahal faktanya tak semua dari mereka kaya raya. Ada pula yang miskin. Atas dasar ini pula, Ong Hok Ham kesuksesan orang Tionghoa di Indonesia bukan dari kerja keras dan hidup hemat, melainkan sudah terjadi berkat sistem.
“Sebab, kalau benar kerja keras dan hidup hemat dapat menimbulkan kapitalis, maka kalangan petani yang bekerja lebih keras dan hidup lebih hemat daripada pengusaha kota banyak yang jadi jutawan. Namun, ini tak terjadi,” ungkapnya. (hlm.129)