Selama lima tahun terakhir, populasi babi di Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, penurunan populasi babi dimulai pada tahun 2019, didorong oleh berbagai faktor seperti penyakit hewan dan gangguan pasokan pakan.
Sebagai contoh, populasi babi di Nusa Tenggara Timur, salah satu provinsi penghasil babi terbesar di Indonesia, menurun dari 2.266.222 ekor pada 2019 menjadi 2.132.124 ekor pada 2022. Penurunan ini juga terlihat di provinsi lain seperti Bali dan Sumatra Utara.
Provinsi dengan populasi babi terbesar adalah Nusa Tenggara Timur, dengan populasi sebesar 2.132.124 ekor pada 2022, diikuti oleh Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Penurunan populasi babi ini mulai terasa sejak tahun 2019, terutama disebabkan oleh wabah African Swine Fever (ASF) yang melanda beberapa wilayah penghasil babi. ASF sangat memengaruhi produksi babi di provinsi-provinsi besar seperti Bali dan Sumatra Utara.
Akibatnya, populasi babi di Sumatra Utara menurun drastis dari 1.073.198 ekor pada 2019 menjadi hanya 211.400 ekor pada 2022. Sementara di Bali, populasi turun dari 669.565 ekor pada 2019 menjadi 371.499 ekor pada 2022.
Di saat bersamaan, data menunjukkan rata-rata konsumsi daging babi per kapita di Indonesia pada tahun 2022 turun 16,11% menjadi 0,234 kg per tahun pada 2022, dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan populasi babi ini berimbas pada harga daging babi di pasar. Sejak wabah ASF, harga babi naik karena keterbatasan pasokan. Khususnya di Sumatra dan Bali. Wabah ini menyebabkan penurunan populasi babi di beberapa provinsi, yang berujung pada kelangkaan pasokan dan peningkatan harga daging babi.
Menurut Kementan di Provinsi Sumatera Utara, misalnya, harga babi hidup mencapai Rp65.573/kg pada 2021. Kenaikan harga juga terasa di pasar Sumatra lainnya seperti Bangka Belitung, di mana harga mencapai Rp125.834/kg pada Maret 2021
Di sisi lain, dampak kenaikan harga babi juga dirasakan di Bali, di mana harga per ekor bisa mencapai Rp7,5 juta. Hal ini diperparah dengan kenaikan harga pakan ternak, yang sebagian besar berasal dari bahan impor.
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah dan pelaku industri peternakan telah melakukan berbagai langkah. Salah satunya adalah meningkatkan biosekuriti di peternakan-peternakan babi guna mencegah penyebaran ASF lebih lanjut.
Selain itu, pemerintah juga berupaya memperbaiki pasokan pakan dan memberikan insentif bagi peternak untuk meningkatkan kembali populasi babi di daerah terdampak. Hal ini diharapkan dapat menstabilkan populasi babi dan menurunkan harga daging babi di pasar dalam jangka panjang.