Cerita Orang RI Kena Bom Atom Hiroshima, Kulit Terbakar-Nyaris Tewas

Hari itu, 6 Agustus 1945, pesawat B-29 Enola Gay milik militer Amerika Serikat meluncurkan bom atom 15 kiloton di langit Hiroshima, Jepang.

Bom seketika meledak mengeluarkan kilatan cahaya disertai awan cendawan yang langsung mengembang tinggi ke langit. Selang beberapa detik, angin keras bak topan menyapu secara radial ke segala arah disertai panas yang tak terkira. 

Sekitar 90 ribu hingga 120 ribu manusia terpanggang hidup-hidup. Total 90% dari 76 ribu bangunan kota terbakar hingga menjadi puing-puing. Atas dampak demikian siapapun pasti mengira tak ada satupun manusia yang masih hidup.

Akan tetapi, ada manusia yang diberi mukjizat bisa selamat dari kejadian hari itu. Sedikit manusia yang mendapat keberuntungan adalah para warga Indonesia. Selama masa pendudukan, Jepang membuka pintu masuk kepada orang Indonesia untuk bekerja dan belajar di sana.

Ini dilakukan sebagai cara menarik simpati rakyat kecil, kelompok menengah, dan pegawai sipil. Namun, sejarah kemudian membuktikan mereka tak cuma belajar atau bekerja, tapi jadi saksi atas tragedi mengerikan: peluncuran bom atom. 

Cerita pertama datang dari Sjarif Adil Sagala. Dalam memoarnya di Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945 (1990), Sagala masih teringat detik demi detik bagaimana bom atom AS hampir membuatnya pindah alam. 

Pada 6 Agustus 1945 pukul 8 pagi, Sagala bangun tidur dan bergegas ke kampus. Tak ada yang berbeda hari itu. Seperti biasa, dia pergi membawa peralatan dan tak lupa sebelum masuk kelas, dia menyantap sarapan dulu. 

Sesaat setelah kenyang, Sagala mendengar suara gemuruh. Dia melihat ke langit dan ternyata berasal dari pesawat tempur AS. Pikir Sagala, itu biasa. Selama perang pesawat serupa sering mondar-mandir. Bahkan, semua itu jadi tontonan menghibur. 

Namun, saat mendongakkan kepala ke langit, tragedi pun muncul.

“Tiba-tiba terdengar suara aneh dan…. sraatt, sinar berkilau, dengan dahsyat dan mengejutkan!,” tutur Sagala. 

Di hadapannya, terlihat putaran angin besar dan asap raksasa membumbung tinggi ke awan. Dia langsung menutup jendela dan bergegas kabur. Sayang, saat baru berlari 1-2 langkah, dia terhempas tertimpa bangunan ambruk. 

Sagala mengaku tak teringat apapun. Satu hal yang ia rasakan: muka berlumuran darah dan kulitnya bak terbakar terdampak angin besar yang super panas. Di kondisi itu, dia merasa ajalnya sudah dekat. Teriakan minta tolong tak didengar sebab semua juga bernasib sama. Apalagi, dalam waktu bersamaan, api mulai berkobar. 

Namun, setelah berulangkali teriak, ada orang yang mendengar. Dia adalah mahasiswa Indonesia juga. Namanya, Hasan Rahaya. Hasan lantas mengeluarkan Sagala dari reruntuhan dan membawanya ke lokasi aman.

Bagaimana Hasan bisa selamat diceritakan pula oleh penyintas warga Indonesia bernama Arifin Bey. Arifin dan Hasan satu sekolah di Universitas Waseda. Pada 6 Agustus 1945, Arifin sedang berada di ruang kelas seorang profesor.

Dia tak curiga apapun dan hanya mendengar gemuruh pesawat dan sirine tanda aman. Itu sudah biasa. Profesor pun masuk kelas dan langsung ngajar.

“Selamat pagi! Sampai minggu yang lampau…..!,” kalimatnya terhenti. Mata profesor teralihkan ke luar jendela. Begitu pula pandangan Arifin. 

“Tiba-tiba dari arah jendela kelas kelihatan cahaya menyambar ibarat kilat. Tapi, tak membawa bunyi apapun,” kenang Arifin dalam memoarnya “Bom Atom di Atas Hiroshima: Suatu Pengalaman Nyata”.

Tak lama setelah cahaya muncul, angin panas menerpa dan bangunan pun ambruk. Arifin tertimpa dan pingsan. Saat siuman, dia melihat langit biru pagi hari berubah menjadi hitam seperti maghrib.

Dia bangkit dan mencari orang selamat. Berlarilah dia ke asrama dan bertemu dengan orang Indonesia lain, Syarif Sagala dan Hasan Rahaya. Saat melihat dunia luar, betapa terkejutnya Arifin. Hiroshima yang dulu kota damai dan asri berubah menjadi lautan api.

Akibat angin panas barusan, para penduduk juga menderita. Mereka berlumuran darah dan kulitnya bergelantung bak terkuliti. Mereka berlarian kesana-kemari mencari pertolongan. Sayang, keadaan chaos. Sulit mendapat akses pengobatan. 

Arifin, Sagala, dan Hasan tentu saja masih beruntung. Ketiganya tergerak membantu sesama, menyelamatkan orang dari reruntuhan bangunan dan mengobati korban dari rasa sakit teramat. 

Selain Arifin, Sagala, dan Hasan, ada penyintas lain warga Indonesia bernama Omar Barack. Semuanya terlihat sehat, kecuali Sagala yang berlumuran darah. Meski begitu, beberapa hari kemudian baru diketahui kondisi tubuh mereka sudah terdampak radiasi. 

Saat tiba di tempat pengungsian di Tokyo, dokter mengatakan tubuh mereka terkena radiasi super tinggi. Sel darah putih di tubuh menurun drastis. Normalnya, mereka punya 4.000 – 11.000 sel darah putih per mikroliter darah. Sementara, mereka hanya punya kurang dari 4.000. Mereka pun kritis. Dokter tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, Sagala sempat disebut “tipis kemungkinan untuk hidup.”

Beruntung, mereka berhasil melewati masa kritis satu minggu. Setelahnya, selama lima tahun, berada dipengawasan dokter yang memantau radiasi. 

Saat pulang ke Indonesia. mayoritas dari para penyintas kelak menjadi pengusaha besar Indonesia. 

Pada 1969, Sjarif Adil Sagala, yang sempat menikmati kelezatan mie khas Jepang, mendirikan mie instant pertama di Indonesia bernama Supermi. Lalu, Hassan Rahaya membangun usaha pelayaran dan kargo. Dia sempat jadi anggota DPR era Orde Baru. Anak Hassan, Ferdy Hassan, menjadi artis ternama. 

Sementara, Omar Barack juga sama. Dia jadi pengusaha kayu dan baja. Kelak, anaknya menikah dengan politisi dan pengusaha Surya Paloh. Selain itu, cucunya, Reino Barack, menikah dengan musisi Syahrini. Hanya Arifin Bey yang tak jadi pengusaha. Dia berada di jalan sunyi menjadi diplomat dan peneliti. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*