Paus Fransiskus menyoroti wawasan berharga yang dimilik Indonesia, yaitu menyoroti Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Yang menempatkan Allah dan keadilan sosial dalam kalimat-kalimat di bagian Pembukaan.
Hal itu disampaikan saat bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/9/2024). Turut hadir pula dalam pertemuan itu Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Menteri Pertahanan sekaligus Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, serta jajaran pejabat terkait. .
Pertemuan di Istana Negara, Jakarta Pusat, ini menjadi pembuka perjalanan apostolik pemimpin gereja Katolik dunia tersebut di Indonesia, yang berlangsung mulai 3 sampai 6 September 2024. Paus Fransiskus sendiri telah meninggalkan Indonesia dan melanjutkan perjalanan apostoliknya ke Port Moresby, Papua Nugini pada Jumat (7/9/2024).
Sri Paus pun telah meninggalkan sejumlah kesan dari kunjungannya selama empat hari di Jakarta. Dalam sejumlah kegiatannya di Indonesia, Paus Fransiskus menyampaikan pesan-pesan yang terkait dalam tema Perjalanan Apostoliknya kali ini, yaitu Iman, Persaudaraan, dan Bela Rasa.
Dalam pidato yang disampaikan di hadapan Presiden Jokowi itu, Paus Fransiskus juga menyinggung banyak hal, dari toleransi, Bhinneka Tunggal Ika hingga fenomena banyak anak di RI.
Berikut pidato lengkap dari Paus Fransiskus di Istana Negara, sebagaimana diterjemahkan ke Bahasa Indonesia:
Dengan sepenuh hati saya berterima kasih kepada Anda, Bapak Presiden (Joko Widodo), atas undangan yang menyenangkan untuk mengunjungi negara Anda dan atas kata sambutan Anda yang ramah.
Saya mengucapkan salam hangat kepada Presiden terpilih (Prabowo Subianto) untuk masa tugas pelayanan Anda yang membawa hal baik untuk Indonesia, sebuah negara kepulauan yang luas yang terdiri dari ribuan pulau yang dikelilingi laut yang menghubungkan Asia ke Oseania.
Dapat dikatakan bahwa sebagaimana samudera adalah unsur alami yang menyatukan seluruh kepulauan di Indonesia, demikian pun sikap saling menghargai terhadap kekhasan karakteristik budaya, etnis, bahasa dan agama dari semua kelompok yang ada di Indonesia. Ini adalah kerangka yang tak tergantikan, yang menyatukan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bersatu dan bangga.
Semboyan negara Anda, Bhinneka Tunggal Ika atau bersatu dalam keberagaman, secara harfiah berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, mengungkapkan realitas beraneka sisi dari berbagai orang yang disatukan dengan teguh dalam satu bangsa.
Semboyan ini juga memperlihatkan bahwa, sebagaimana keanekaragaman hayati yang ada dalam negara kepulauan ini adalah sumber kekayaan dan keindahan.
Demikian pula perbedaan-perbedaan Anda secara khusus berkontribusi bagi pembentukan mosaik yang sangat besar, yang mana masing-masing keramiknya adalah unsur tak tergantikan dalam menciptakan karya besar yang otentik dan berharga.
Kerukunan di dalam perbedaan dicapai ketika perspektif-perspektif tertentu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan bersama dari semua orang, dan ketika setiap kelompok suku dan denominasi keagamaan bertindak dalam semangat persaudaraan, seraya mengejar tujuan luhur dengan melayani kebaikan bersama.
Kesadaran untuk berpartisipasi dalam sejarah bersama, yang di dalamnya solidaritas adalah unsur hakiki dan semua orang memberikan sumbangsihnya, membantu mengidentifikasi solusi-solusi yang tepat, untuk menghindari kedongkolan yang muncul dari perbedaan dan untuk mengubah perlawanan kepada kerja sama yang efektif.
Keseimbangan yang bijaksana namun rentan ini, antara kemajemukan budaya yang besar dan ideologi-ideologi yang berbeda, dan cita-cita yang mempererat persatuan, haruslah dibela terus-menerus dari berbagai ketimpangan.
Ini adalah karya keterampilan yang dipercayakan kepada semua orang, tapi secara khusus kepada mereka yang terlibat dalam kehidupan politik, yang harus memperjuangkan kerukunan, persamaan, rasa hormat atas hak-hak dasar manusia, pembangunan berkelanjutan, solidaritas dan upaya mencapai perdamaian, baik di dalam masyarakat maupun dengan bangsa-bangsa serta negara-negara lain.
Untuk memperkuat kerukunan yang damai dan berbuah yang menjamin perdamaian dan menyatukan upaya-upaya untuk menghapuskan ketimpangan dan penderitaan yang masih bertahan di beberapa wilayah negara, Gereja Katolik berkeinginan untuk meningkatkan dialog antaragama. Dengan cara ini, prasangka dapat dihapus dan suasana saling menghargai dan saling percaya dapat bertumbuh.
Maka ini sangatlah penting untuk menghadapi tantangan-tantangan bersama, termasuk tantangan untuk melawan ekstremisme dan intoleransi, yang melalui pembelokan agama, berupaya untuk memaksakan sudut pandang mereka dengan menggunakan tipu muslihat dan kekerasan.
Sama dengan berbagai lembaga negara, Gereja Katolik bekerja untuk melayani kebaikan bersama dan berkeinginan untuk menguatkan kerja tokoh-tokoh lain dalam sipil, mendorong pembentukan struktur sosial yang lebih seimbang dan memastikan pembagian bantuan sosial yang lebih efisien dan adil.
Berkaitan dengan ini, saya ingin merujuk kepada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menawarkan wawasan berharga bagi jalan yang dipilih oleh Indonesia yang demokratis dan merdeka.
Dua kali dalam beberapa baris, pembukaan Undang-Undang Dasar Indonesia merujuk kepada Allah yang Maha Kuasa dan perlunya berkat Allah turun atas negara Indonesia yang baru lahir. Dengan cara yang sama, kalimat pembuka Undang-Undang Dasar merujuk dua kali pada keadilan sosial: sebagai fondasi tatanan internasional yang dinginkan dan tujuan yang harus dicapai demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika, keadilan sosial dan berkat Ilahi adalah prinsip-prinsip hakiki yang bermaksud untuk menginspirasi dan menuntun tatanan sosial. Prinsip-prinsip ini dapat disamakan dengan struktur pendukung, sebuah fondasi yang kokoh untuk membangun rumah.
Kita pasti menyadari bahwa prinsip-prinsip ini sangat sesuai dengan moto kunjungan saya ke Indonesia: Iman, Persaudaraan, dan Bela Rasa.
Sayangnya, saat kita melihat di dunia saat ini, ada kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menghalangi perkembangan persaudaraan universal.
Di berbagai daerah kita menyaksikan munculnya konflik-konflik kekerasan, yang sering kali adalah akibat kurangnya sikap saling menghargai, dan dari keinginan intoleran untuk memaksakan kepentingan sendiri, posisi sendiri dan narasi historis sepihak dengan segala upaya. Bahkan hal ini dapat membawa penderitaan tiada akhir bagi seluruh komunitas dan berujung pada peperangan dan banyak pertumpahan darah.
Kadang-kadang, ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara-negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka bahkan dalam hal-hal yang seharusnya diserahkan kepada otonomi individu atau kelompok yang berkaitan.
Terlebih, terlepas dari kebijakan-kebijakan yang mengesankan, terdapat juga kurangnya komitmen sejati yang berorientasi ke depan untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Akibatnya, sebagian besar umat manusia terpinggirkan, tanpa sarana untuk menjalani hidup yang bermartabat dan tanpa perlindungan dari ketimpangan sosial yang serius dan bertumbuh, yang memicu konflik-konflik yang parah.
Dalam konteks-konteks lainnya, masyarakat percaya bahwa masyarakat yang percaya, mereka dapat memohon berkat Allah, (saya) mendengar bahwa keluarga-keluarga (di Indonesia) masih memiliki tiga sampai empat anak dan ini sebuah contoh yang bagus bagi negara (lain), karena banyak negara tidak mau lagi memiliki anak tetapi memiliki binatang (hewan peliharaan).
Kemudian, mereka juga dapat atau boleh mengabaikan kebutuhan untuk memohon berkat Allah, menilainya sebagai sesuatu yang dangkal bagi manusia dan masyarakat sipil. Sebaliknya, mereka memajukan usaha-usaha mereka sendiri, tetapi kerap kali hal ini mengantar mereka kepada pengalaman frustrasi dan kegagalan.
Meski demikian, ada masa-masa ketika iman kepada Allah terus menerus diletakkan di garis depan, tapi sayangnya dimanipulasi untuk menciptakan perpecahan dan meningkatkan kebencian, dan bukan untuk memajukan perdamaian, persekutuan, dialog, rasa hormat, kerja sama dan persaudaraan.
Berhadapan dengan tantangan-tantangan yang disebutkan di atas, adalah sesuatu yang memberanikan bahwa falsafah yang menuntun ketatanegaraan Indonesia sungguh seimbang sekaligus bijaksana. Terkait hal ini, saya ingin menjadikan kata-kata dari Santo Yohanes Paulus Il dalam kunjungannya tahun 1989 di istana ini sebagai perkataan saya.
Di antara hal-hal lain, beliau berkata:
“Dengan mengakui kehadiran keanekaragaman yang sah, dengan menghargai hak-hak manusia dan politik dari semua warga, dan dengan mendorong pertumbuhan persatuan nasional berlandaskan toleransi dan sikap saling menghargai terhadap orang lain, Anda meletakkan fondasi bagi masyarakat yang adil dan damai yang diinginkan semua warga Indonesia untuk diri mereka sendiri dan rindu untuk diwariskan kepada anak-anak mereka” (Pidato kepada Presiden Republik Indonesia dan para pejabat sipil, Jakarta 9 Oktober 1989).
Jika terkadang di masa lalu prinsip tersebut tidak selalu diterapkan, namun prinsip-prinsip ini tetaplah berlaku dan dipercaya. Ibarat mercusuar yang menyinari jalan yang ditempuh dan yang memperingatkan tentang kesalahan-kesalahan amat berbahaya yang harus dihindari.
Bapak Presiden (Jokowi) dan para hadirin sekalian, saya berharap agar setiap orang, dalam kehidupan mereka sehari-hari, akan mampu menimba inspirasi dari prinsip-prinsip ini dan menerapkannya ketika melaksanakan kewajiban mereka masing-masing, karena opus justitiae pax, perdamaian adalah karya dari keadilan.
Kerukunan dicapai ketika kita berkomitmen tidak hanya demi kepentingan-kepentingan dan visi kita sendiri, tapi demi kebaikan bersama, dengan membangun jembatan, memperkokoh kesepakatan dan sinergi, menyatukan kekuatan untuk mengalahkan segala bentuk penderitaan moral, ekonomi, dan sosial, dan untuk memajukan perdamaian dan kerukunan.
Semoga Allah memberkati Indonesia dengan perdamaian, demi masa depan penuh harapan. Allah memberkati Anda sekalian!