Miliarder Arab Takut Dosa Punya Harta Banyak, Kini Pilih Hidup Miskin

Kehidupan Sulaiman Al Rajhi (95) adalah anomali. Di saat miliarder lain ingin menghabiskan uang dengan bergelimang harta, Al Rajhi tidak. Dia malah ingin hidup miskin dan menyumbang seluruh harta untuk kegiatan amal. 

Sulaiman Al Rajhi adalah pebisnis Arab Saudi yang sempat menelan pil pahit kehidupan di masa muda. Sejak lahir, dia sudah menghadapi kemiskinan hingga tak bisa belajar dan terpaksa bekerja di usia 9 tahun sebagai porter.

Selain itu, dia juga pernah bekerja sebagai pengepul kurma dan penjaga toko. Hingga akhirnya, titik balik kehidupannya terjadi saat dia bekerja di money changer. Bekerja di money changer membuatnya naik kelas. Dari semula miskin, menjadi orang berduit.

Di kala melakukan ekspansi inilah, Sulaiman memutuskan untuk mencari tantangan baru. Pada 1970, dia membangun bisnis money changer sendiri yang dalam waktu singkat berkembang jadi 30 gerai di seluruh Arab Saudi. Bahkan, sudah berhasil melakukan ekspansi ke Mesir dan Lebanon.

Besarnya jaringan bisnis membuat Sulaiman bersama saudara-saudaranya membentuk perusahaan induk money changer. Belakangan, perusahaan induk ini berubah arah dan memilih terjun di dunia perbankan, khususnya bank syariah lewat Al Rajhi Bank.

Dari sinilah upaya Sulaiman menjadi kaya berhasil. Al Rajhi Bank puluhan tahun kemudian jadi bank syariah terbesar di dunia. Praktis, keberhasilan ini lantas membuat kekayaan Sulaiman meroket.

Pada 2011 Forbes mencatatkan kekayaannya mencapai US$ 7,7 miliar atau Rp 119 triliun di masa kini. Dengan harga segitu, dia masuk dalam 100 orang terkaya di seluruh dunia. Meski bergelimang harta, Sulaiman punya sikap berbeda soal gaya hidup.

Punya harta ratusan triliun, tak membuat Sulaiman berfoya-foya. Dia tak punya mobil mewah atau pesawat pribadi. Untuk berpergian, dia selalu menggunakan pesawat kelas ekonomi.

Alasan Sulaiman bersikap demikian karena dia takut dosa. Dia tidak mau kekayaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Maka, dia selalu menggunakan harta untuk kegiatan bermanfaat, termasuk kegiatan amal.

Soal amal, Sulaiman selalu totalitas. Sebagai orang yang pernah terjerat kemiskinan, dia merasa hidup miskin tidak enak. Akibat tak mau orang lain merasakan hal sama, dia kerap membagikan uang kepada orang yang membutuhkan.

Hingga akhirnya puncaknya terjadi pada 2015 lalu. Dia membagikan seluruh harta kepada masyarakat tidak mampu di Arab Saudi. Dia juga mengalihkan kepemilikan sahamnya di Al Rajhi bank ke berbagai lembaga amal.

Akibatnya, semua tindakan ini membuat hartanya lenyap dan hanya menyisakan sedikit untuk dana abadi dan warisan anak. Atas dasar ini, Forbes tak lagi memasukan namanya di jajaran orang terkaya dunia.

Dia pun menyebut dirinya sudah miskin dan mengklaim hanya punya satu gamis. Meski begitu, Sulaiman sama sekali tidak menyesal.

“Segala harta milik Allah, dan kita hanyalah orang-orang yang diberi amanah (oleh Allah) untuk menjaganya,” ujarnya.

Berkat Jual Obat Kuat, Dua Keturunan Punya Harta Rp573 T

Di pinggir jalan perkotaan Indonesia, sering ditemukan gerai-gerai toko biru yang menjual obat kuat. Melihat penjualan yang seperti itu, tak sedikit orang tergelitik dan berpikir “mana bisa kaya dari hanya jual obat kuat”.

Meski begitu, kisah dari keluarga terkaya negeri tetangga berhasil membuktikan. Bahwa hanya menjual obat kuat, bisa punya harta US$ 36 miliar atau Rp573 Triliun.

Keluarga tersebut adalah trah Yoovidha. Sejarah keluarga bermula dari Chaleo Yoovidhya. Awalnya Chaleo hanya pekerja kantoran biasa yang berprofesi di dunia farmasi.

Sekali waktu di tahun 1970, Chaleo iseng meracik minuman campuran gula dan kafein. Jumlahnya sangat banyak. Chaleo percaya ramuan tersebut bakal membuat seseorang yang menenggaknya kuat, khususnya para kuli.

Saat itu, Thailand sedang menikmati pesatnya pertumbuhan ekonomi negara. Berbagai proyek dilaksanakan secara masif dan besar-besaran. Tulang punggung pembangunan proyek itu adalah kuli alias pekerja kasar.

Tanpa peluh keringat, tidak ada bangunan berdiri tegak di atas tanah. Maka, perhatian khusus banyak diberikan kepada para kuli.

Alhasil, ramuan “obat kuat” Itu diserahkan kepada para kuli. Tak disangka, tiap orang yang menenggaknya, niscaya energi akan datang bertubi-tubi. Bahkan, bisa mengusir lelah, kantuk, dan membuat seseorang bisa lebih fokus.

Minuman itu kelak diproduksi besar-besaran dan dinamai Kratingdaeng. Bagi para pekerja kasar, minuman ini sesuai dengan pekerjaannya yang membutuhkan gerak fisik sangat besar.

Alhasil, dalam sekejap Kratingdaeng menjadi sangat populer. Karena bisa mendampingi mereka dalam mendongkrak aktivitas.

Popularitas Kratingdaeng buatan Chaleo dilirik oleh sales deterjen asal Austria, Dietrich Mateschitz.

Pada 1980-an, dia datang pertama kali ke Bangkok untuk kepentingan pekerjaan dengan menempuh perjalanan udara selama 13 jam.

Guna menghilangkan jet lag, sales perusahaan deterjen itu memberanikan menenggak minuman berenergi tersebut. Tak disangka, jet lag-nya hilang dan dia bisa semangat seperti sedia kala.

Dari sinilah, Mateschitz punya ide bisnis menarik. Dia ingin Kratingdaeng mendunia dan tak hanya dijual di Thailand saja.

Singkat cerita, ide itu baru terwujud pada 1 April 1987. Dengan izin Chaleo, Mateschitz memberanikan diri menjual minuman energi itu secara global dengan target pasar pertama penduduk Austria.

Nama minuman itu adalah Red Bull. Dia menjual kepada para pekerja kerah biru dan menaruhnya di etalase tempat wisata dengan harga super mahal. Ini berbeda dengan Thailand yang menargetkan kuli.

Menurut Reinhard Kunz dalam Sport-Related Branded Entertainment: The Red Bull Phenomenon (2016), keputusan menjual Red Bill di luar awal target pasar dan harga mahal bertujuan untuk membentuk target pasar baru. Mateschitz percaya jika ini dilakukan, maka akan terbentuk komunitas pecinta Red Bull, sehingga bakal terbentuk kesan eksklusif.

Selain itu Mateschitz juga menjadikan Red Bull di sponsor olahraga Formula 1. Di ajang olahraga balapan ekstrim itu, perusahaan nekat menjadi sponsor ratusan atlet dan mendirikan tim balap sendiri.

Tentu, tujuan turun gunung itu bukan cuma agar dikenal para penggemar F1 di seluruh dunia, tetapi juga supaya bisa membuktikan bahwa produknya benar-benar bermanfaat. Dengan logo banteng berwarna merah yang menunjukkan kekuatan, Red Bull ingin para konsumennya bisa seperti banteng dan para atlet olahraga ekstrim: kuat dan bertenaga.

Pada akhirnya, ini semua membuahkan hasil. Red Bull berjaya, begitu juga Kratingdaeng. Dalam situs resmi, tercatat pada 2023 lalu produk sukses terjual 11,583 miliar kaleng.

Kesuksesan ini membuat kekayaan Chaleo juga ikut naik. Forbes (2024) mencatat dia dan keluarga, yang lini bisnisnya kini dikendalikan oleh Chalerm Yoovidhya (generasi ke-2) , punya US$ 36 miliar atau setara Rp 573 Triliun. Nominal ini membuatnya dinobatkan sebagai keluarga terkaya di dunia, yang semua bermula dari jualan obat kuat.

Cerita Orang RI Kena Bom Atom Hiroshima, Kulit Terbakar-Nyaris Tewas

Hari itu, 6 Agustus 1945, pesawat B-29 Enola Gay milik militer Amerika Serikat meluncurkan bom atom 15 kiloton di langit Hiroshima, Jepang.

Bom seketika meledak mengeluarkan kilatan cahaya disertai awan cendawan yang langsung mengembang tinggi ke langit. Selang beberapa detik, angin keras bak topan menyapu secara radial ke segala arah disertai panas yang tak terkira. 

Sekitar 90 ribu hingga 120 ribu manusia terpanggang hidup-hidup. Total 90% dari 76 ribu bangunan kota terbakar hingga menjadi puing-puing. Atas dampak demikian siapapun pasti mengira tak ada satupun manusia yang masih hidup.

Akan tetapi, ada manusia yang diberi mukjizat bisa selamat dari kejadian hari itu. Sedikit manusia yang mendapat keberuntungan adalah para warga Indonesia. Selama masa pendudukan, Jepang membuka pintu masuk kepada orang Indonesia untuk bekerja dan belajar di sana.

Ini dilakukan sebagai cara menarik simpati rakyat kecil, kelompok menengah, dan pegawai sipil. Namun, sejarah kemudian membuktikan mereka tak cuma belajar atau bekerja, tapi jadi saksi atas tragedi mengerikan: peluncuran bom atom. 

Cerita pertama datang dari Sjarif Adil Sagala. Dalam memoarnya di Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945 (1990), Sagala masih teringat detik demi detik bagaimana bom atom AS hampir membuatnya pindah alam. 

Pada 6 Agustus 1945 pukul 8 pagi, Sagala bangun tidur dan bergegas ke kampus. Tak ada yang berbeda hari itu. Seperti biasa, dia pergi membawa peralatan dan tak lupa sebelum masuk kelas, dia menyantap sarapan dulu. 

Sesaat setelah kenyang, Sagala mendengar suara gemuruh. Dia melihat ke langit dan ternyata berasal dari pesawat tempur AS. Pikir Sagala, itu biasa. Selama perang pesawat serupa sering mondar-mandir. Bahkan, semua itu jadi tontonan menghibur. 

Namun, saat mendongakkan kepala ke langit, tragedi pun muncul.

“Tiba-tiba terdengar suara aneh dan…. sraatt, sinar berkilau, dengan dahsyat dan mengejutkan!,” tutur Sagala. 

Di hadapannya, terlihat putaran angin besar dan asap raksasa membumbung tinggi ke awan. Dia langsung menutup jendela dan bergegas kabur. Sayang, saat baru berlari 1-2 langkah, dia terhempas tertimpa bangunan ambruk. 

Sagala mengaku tak teringat apapun. Satu hal yang ia rasakan: muka berlumuran darah dan kulitnya bak terbakar terdampak angin besar yang super panas. Di kondisi itu, dia merasa ajalnya sudah dekat. Teriakan minta tolong tak didengar sebab semua juga bernasib sama. Apalagi, dalam waktu bersamaan, api mulai berkobar. 

Namun, setelah berulangkali teriak, ada orang yang mendengar. Dia adalah mahasiswa Indonesia juga. Namanya, Hasan Rahaya. Hasan lantas mengeluarkan Sagala dari reruntuhan dan membawanya ke lokasi aman.

Bagaimana Hasan bisa selamat diceritakan pula oleh penyintas warga Indonesia bernama Arifin Bey. Arifin dan Hasan satu sekolah di Universitas Waseda. Pada 6 Agustus 1945, Arifin sedang berada di ruang kelas seorang profesor.

Dia tak curiga apapun dan hanya mendengar gemuruh pesawat dan sirine tanda aman. Itu sudah biasa. Profesor pun masuk kelas dan langsung ngajar.

“Selamat pagi! Sampai minggu yang lampau…..!,” kalimatnya terhenti. Mata profesor teralihkan ke luar jendela. Begitu pula pandangan Arifin. 

“Tiba-tiba dari arah jendela kelas kelihatan cahaya menyambar ibarat kilat. Tapi, tak membawa bunyi apapun,” kenang Arifin dalam memoarnya “Bom Atom di Atas Hiroshima: Suatu Pengalaman Nyata”.

Tak lama setelah cahaya muncul, angin panas menerpa dan bangunan pun ambruk. Arifin tertimpa dan pingsan. Saat siuman, dia melihat langit biru pagi hari berubah menjadi hitam seperti maghrib.

Dia bangkit dan mencari orang selamat. Berlarilah dia ke asrama dan bertemu dengan orang Indonesia lain, Syarif Sagala dan Hasan Rahaya. Saat melihat dunia luar, betapa terkejutnya Arifin. Hiroshima yang dulu kota damai dan asri berubah menjadi lautan api.

Akibat angin panas barusan, para penduduk juga menderita. Mereka berlumuran darah dan kulitnya bergelantung bak terkuliti. Mereka berlarian kesana-kemari mencari pertolongan. Sayang, keadaan chaos. Sulit mendapat akses pengobatan. 

Arifin, Sagala, dan Hasan tentu saja masih beruntung. Ketiganya tergerak membantu sesama, menyelamatkan orang dari reruntuhan bangunan dan mengobati korban dari rasa sakit teramat. 

Selain Arifin, Sagala, dan Hasan, ada penyintas lain warga Indonesia bernama Omar Barack. Semuanya terlihat sehat, kecuali Sagala yang berlumuran darah. Meski begitu, beberapa hari kemudian baru diketahui kondisi tubuh mereka sudah terdampak radiasi. 

Saat tiba di tempat pengungsian di Tokyo, dokter mengatakan tubuh mereka terkena radiasi super tinggi. Sel darah putih di tubuh menurun drastis. Normalnya, mereka punya 4.000 – 11.000 sel darah putih per mikroliter darah. Sementara, mereka hanya punya kurang dari 4.000. Mereka pun kritis. Dokter tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, Sagala sempat disebut “tipis kemungkinan untuk hidup.”

Beruntung, mereka berhasil melewati masa kritis satu minggu. Setelahnya, selama lima tahun, berada dipengawasan dokter yang memantau radiasi. 

Saat pulang ke Indonesia. mayoritas dari para penyintas kelak menjadi pengusaha besar Indonesia. 

Pada 1969, Sjarif Adil Sagala, yang sempat menikmati kelezatan mie khas Jepang, mendirikan mie instant pertama di Indonesia bernama Supermi. Lalu, Hassan Rahaya membangun usaha pelayaran dan kargo. Dia sempat jadi anggota DPR era Orde Baru. Anak Hassan, Ferdy Hassan, menjadi artis ternama. 

Sementara, Omar Barack juga sama. Dia jadi pengusaha kayu dan baja. Kelak, anaknya menikah dengan politisi dan pengusaha Surya Paloh. Selain itu, cucunya, Reino Barack, menikah dengan musisi Syahrini. Hanya Arifin Bey yang tak jadi pengusaha. Dia berada di jalan sunyi menjadi diplomat dan peneliti. 

Perkenalkan! Milenial Orang Terkaya No 1 China, Banyak Skandalnya

Taipan e-commerce Colin Huang telah menjadi orang terkaya di China. Hal ini terungkap dari data Bloomberg Billionaires Index, Jumat (9/8/2024).

Dalam data tersebut, Huang, yang merupakan pendiri PDD Holdings pemilik Temu dan aplikasi ritel Pinduoduo, sekarang memegang kekayaan senilai US$ 48,5 miliar (Rp 772 triliun). Dengan nilai ini, Huang juga sekaligus menjadi orang terkaya ke-25 dunia.

Huang diketahui menyalip Zhong Shanshan, bos perusahaan minuman Nongfu Spring, yang telah menduduki puncak dalam daftar orang terkaya China sejak April 2021. Di belakang mereka adalah bos Tencent Ma Huateng dan pemilik Bytedance Zhang Yiming.

Huang, lahir pada tahun 1980 di kota Hangzhou di China Timur, adalah seorang remaja jenius matematika dan mantan karyawan Google China. Pada tahun 2015, ia mendirikan situs belanja daring Pinduoduo, yang berkembang menjadi salah satu kerajaan e-commerce tersukses di Negeri Panda.

Aplikasi tersebut memikat konsumen dengan diskon besar dan beragam produk. Bahkan, Pinduoduo terkadang menawarkan harga yang sangat rendah di tengah persaingan yang ketat.

Versi luar negerinya, Temu, diluncurkan pada tahun 2022 di Amerika Serikat (AS). Di Negeri Paman Sam, Temu mengumpulkan basis konsumen setia dengan barang-barang berbiaya rendah yang dibuat dan dikirim dari China.

Keberhasilan aplikasi ini sejalan dengan inflasi tinggi yang terus-menerus yang telah mendorong konsumen yang sadar biaya untuk mencari barang murah. Sejak itu, Temu terus berkembang hingga Eropa dan Amerika Latin.

Meskipun baru hadir di Eropa tahun lalu, Temu mengatakan bahwa rata-rata memiliki sekitar 75 juta pengguna aktif bulanan di wilayah tersebut. Namun, keberhasilannya yang luar biasa telah menuai tuduhan praktik komersial yang tidak adil dan standar keselamatan yang longgar di Benua Biru.

Tahun ini, kelompok konsumen di Eropa menuduh Temu memanipulasi pembeli agar menghabiskan lebih banyak uang. Hal ini kemudian mendistorsi kemampuan warga Eropa untuk membuat keputusan pembelian.

Dan pada bulan April, regulator Korea Selatan (Korsel) membuka penyelidikan terhadap Temu atas dugaan iklan palsu dan praktik yang tidak adil. Selain di luar negeri, masalah juga muncul di China sendiri.

Bulan lalu misalnya, ratusan pedagang di China berdemonstrasi di kantor afiliasi PDD di kota Guangzhou. Mereka menuduh adanya perlakuan tidak adil dalam penjualan produk mereka di platform tersebut.

Namun, hal itu tidak banyak mempengaruhi keberhasilan perusahaan. PDD Holdings mengumumkan pada bulan Mei bahwa laba bersih kuartal pertama meningkat lebih dari tiga kali lipat dari tahun ke tahun.

Saham perusahaan yang terdaftar di AS ditutup pada harga US$ 138,02 (Rp 2,2 juta) per saham pada hari Kamis. Sehingga kapitalisasi pasarnya mencapai US$ 191,68 miliar (Rp 3.051 triliun).

Awas Perang Nuklir di Dekat RI, Australia-AS-Inggris Beri ‘Kode’ Baru

di dekat RI kembali muncul. Senin (12/8/2024), Australia menandatangani kesepakatan yang memungkinkan pertukaran rahasia dan material nuklir dengan Amerika Serikat (AS) dan Inggris.

Hal ini merupakan kelanjutan dari pembuatan kapal selam bertenaga nuklir di Negeri Kanguru. Kesepakatan pembuatan kapal selam nuklir sendiri merupakan bagian dari perjanjian keamanan tripartit ketiga negara melalui AUKUS, yang disepakati sejak 2021.

“Perjanjian ini merupakan langkah penting menuju akuisisi Australia atas kapal selam bertenaga nuklir yang dipersenjatai secara konvensional untuk Angkatan Laut Kerajaan Australia,” kata Menteri Pertahanan dan Wakil Perdana Menteri Australia, Richard Marles, dikutip dari AFP.

“Akuisisi armada kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia akan menetapkan standar nonproliferasi tertinggi,” tambahnya lagi.

AUKUS sebenarnya menjadi jawaban strategis ketiga negeri itu atas ambisi militer China di kawasan Pasifik. Perlu diketahui China mulai melebarkan sayap militer di kawasan dengan mengklaim 90% kawasan Laut China Selatan (LCS) melalui konsep “sembilan garis putus-putus”.

Kesepakatan terbaru yang ditandatangani di Washington minggu lalu ini juga menyebut Australia akan bertanggung jawab atas risiko nuklir dari material yang dikirim. Perlu diketahui material nuklir untuk propulsi kapal selam akan ditransfer dari AS atau Inggris dalam “unit daya yang lengkap dan dilas” dan Australia akan bertanggung jawab atas penyimpanan serta pembuangan bahan bakar nuklir bekas dan limbah radioaktif dari unit daya nuklir yang ditransfer berdasarkan kesepakatan tersebut.

“Kapal selam merupakan bagian penting dari kemampuan angkatan laut Australia, yang memberikan keuntungan strategis dalam hal pengawasan dan perlindungan pendekatan maritim kami,” kata kesepakatan transfer tersebut.

Sementara itu, China telah menyebut AUKUS berisiko memprovokasi perpecahan dan meningkatkan risiko perang nuklir di kawasan Pasifik Selatan. Menteri Luar Negeri Wang Yi mengecam perjanjian pertahanan tersebut April 2024.

Dalam kunjungannya ke Papua Nugini untuk memperkuat hubungan dengan sekutu lama Australia, Wang memperingatkankan perjanjian AUKUS “bertentangan” dengan perjanjian Pasifik Selatan yang melarang senjata nuklir di wilayah tersebut. Sebelumnya sejumlah negara ASEAN juga mengkhawatirkan AUKUS karena ada elemen nuklir di dalamnya. 

“(AUKUS) meningkatkan risiko proliferasi nuklir yang serius,” kata Wang Yi pada konferensi pers setelah bertemu dengan Menlu Papua Nugini Justin Tkatchenko waktu itu.

Putin Warning Perang Nuklir, Rusia Sebut Perang Dingin Sudah Kembali

 Presiden Rusia Vladimir Putin kembali melontarkan ancaman nuklir kepada negara-negara Barat. Hal ini terjadi saat eskalasi hubungan antara Moskow dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa terus memuncak lantaran perang di Ukraina.

Dalam parade Angkatan Laut Rusia, Minggu waktu setempat, Putin mengancam akan meluncurkan kembali produksi senjata nuklir jarak menengah. Ini jika AS mengkonfirmasi niatnya untuk menyebarkan rudal ke Jerman atau tempat lain di Eropa.

“Jika AS melaksanakan rencana tersebut, kami akan menganggap diri kami terbebas dari moratorium sepihak yang sebelumnya diadopsi terkait pengerahan kemampuan serangan jarak menengah dan pendek,” kata Putin saat parade yang diadakan di Saint Petersburg itu dikutip AFP, Senin (29/7/2024).

Putin menambahkan bahwa saat ini di Rusia pengembangan sejumlah sistem rudal jarak menengah sedang dalam tahap akhir. Padahal, sistem rudal itu, yang memiliki kemampuan jarak 500 km dan 5.500 km, merupakan subjek perjanjian pengendalian senjata yang ditandatangani oleh AS dan Uni Soviet pada tahun 1987.

“Kami akan mengambil langkah-langkah serupa dalam penyebarannya, dengan mempertimbangkan tindakan AS, satelitnya di Eropa, dan di wilayah lain di dunia,” tegas Presiden Rusia itu.

Rusia dan AS sendiri menarik diri dari Perjanjian Kekuatan Nuklir Jarak Menengah pada tahun 2019, masing-masing menuduh pihak lain melakukan pelanggaran. Moskow kemudian mengatakan tidak akan memulai kembali produksi rudal tersebut selama Washington tidak menyebarkan rudal di luar negeri.

Pada awal Juli, Washington dan Berlin mengumumkan bahwa “penyebaran episodik” rudal jarak jauh AS. Salah satu rudal jelajah AS, Tomahawk, akan didistribusikan ke Jerman pada tahun 2026.

Putin mengatakan bahwa ‘situs administratif dan militer penting Rusia’ akan berada dalam jangkauan rudal tersebut di masa mendatang. Ia mengatakan wilayah Rusia akan berada dalam jarak sekitar 10 menit dari serangan yang diluncurkan rudal itu.

Sementara itu, Presiden Rusia itu juga menyebutkan bahwa AS telah menyebarkan sistem rudal jarak menengah Typhoon di Denmark dan Filipina dalam latihan baru-baru ini. Situasi, kata dia, mengingatkan kita pada peristiwa Perang Dingin yang terkait dengan penempatan rudal jarak menengah Pershing Amerika di Eropa.

AS menempatkan rudal balistik Pershing AS di Jerman Barat pada tahun 1980-an di puncak Perang Dingin. Kemudian, rudal AS terus ditempatkan selama penyatuan kembali Jerman dan hingga tahun 1990-an.

Namun setelah berakhirnya Perang Dingin, Washington secara signifikan mengurangi jumlah rudal yang ditempatkan di Eropa karena ancaman dari Moskow mereda. Kremlin telah memperingatkan pada pertengahan Juli bahwa usulan penempatan AS akan berarti bahwa ibu kota Eropa akan menjadi sasaran rudal Rusia.

“Kami mengambil langkah mantap menuju Perang Dingin. Semua atribut Perang Dingin dengan konfrontasi langsung akan kembali,” kata Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov kepada seorang reporter TV pemerintah.

Rusia Ancam Negara Raksasa Eropa, Perang Dunia 3 di Depan Mata

 Perselisihan dunia dengan Rusia mengenai perang tak berkesudahan di Ukraina disebut telah memicu potensi Perang Dunia 3. Berbagai negara di Eropa kini mulai mempersiapkan diri lewat militernya masing-masing.

Jerman, misalnya, telah didesak untuk mengaktifkan 900.000 pasukan cadangan oleh Marie-Agnes Strack-Zimmermann, seorang anggota parlemen dari partai liberal FDP dan ketua Komite Pertahanan di Bundestag.

Strack-Zimmermann mendesak hal ini karena yakin “serangan Rusia terhadap kita telah dimulai”. Ia mengatakan Moskow sepenuhnya siap berperang, dan sudah saatnya bagi Jerman untuk bersiap menghadapi ancaman apa pun dari timur.

Anggota parlemen tersebut menambahkan serangan Rusia terhadap Jerman telah dimulai, dengan mengacu pada perang hibrida yang dituduhkan Rusia terhadap berbagai negara Eropa, dengan taktik termasuk serangan siber dan memanipulasi krisis pengungsi.

“Putin sedang mempersiapkan rakyatnya untuk perang dan menempatkan mereka dalam posisi melawan Barat. Oleh karena itu, kita harus mampu mempertahankan diri secepat mungkin,” katanya kepada surat kabar Funke Media Group, seperti dikutip Express, Senin (3/6/2024).

Ia pun menyerukan pengaktifan pasukan cadangan Jerman. “Jika kita dapat merekrut setengah dari mereka dengan keahlian yang sesuai sebagai pasukan cadangan, itu akan menjadi aset yang luar biasa,” ujarnya.

Strack-Zimmermann mengatakan negaranya memiliki sekitar 900.000 pasukan cadangan, meskipun Angkatan Bersenjata Jerman, Bundeswehr, belum mendaftarkan tentara yang pensiun dari dinas aktif selama beberapa dekade.

Sementara itu, Rusia disebut telah mengancam akan melenyapkan senjata nuklir Inggris dalam sehari. Klaim ini disampaikan seorang pakar militer dari Moskow, Yuri Baranchik.

Baranchik memerinci strategi Rusia dalam ‘Operasi Tak Terpikirkan’, jika konflik di Ukraina meningkat menjadi perang nuklir. “Dalam satu hari kami melaksanakan Operasi Tak Terpikirkan. Kami melenyapkan potensi nuklir Inggris dan Prancis,” katanya.

Menurutnya, strategi ini akan melayani dua tujuan, yakni Putin akan merampas status militer-geopolitik Eropa dan mengurangi jumlah kekuatan nuklir di dunia dari sembilan menjadi tujuh.

Pakar tersebut mengeklaim tindakan ini akan “mencabut taring nuklir Inggris dan Prancis, maka blok NATO tidak akan lagi memiliki pemerasan di wilayah operasi Eropa.”

Baranchik, yang juga seorang ahli nuklir terkemuka yang terkait erat dengan lingkaran Kremlin, membuat pernyataan yang meresahkan tentang persenjataan nuklir Inggris, dengan menyatakan bahwa persenjataan itu dapat dinetralkan dengan relatif mudah.

Menurutnya, menetralisir Inggris dan Prancis serta menghilangkan kemampuan mereka dalam persenjataan nuklir akan secara radikal mendefinisikan ulang lanskap keamanan Eropa, sekaligus mencopot gelar mereka sebagai kekuatan nuklir.

Ia menambahkan bahwa NATO hanya akan memiliki senjata nuklir taktis dan senjata nuklir Amerika Serikat (AS) yang tersisa, bahkan di Eropa, tetapi penggunaannya akan berarti kehancuran Amerika, yang tidak akan pernah mereka ambil risiko.

Di sisi lain, Dmitry Medvedev, pejabat senior Kremlin dan mantan presiden serta perdana menteri Rusia, telah menyatakan bahwa Putin tidak menggertak dalam hal ancaman perang nuklir

Rezim Putin juga dilaporkan berinvestasi dalam tempat perlindungan nuklir bergerak senilai 330.000 pound (Rp6,8 miliar) untuk kota-kota besar, yang dirancang untuk melindungi individu-individu penting jika terjadi perang yang dahsyat.

Rusia Siap Perang Nuklir, Kelakuan AS Cs Tentukan Nasib Dunia

Rusia berpotensi membuat perubahan pada kebijakan nuklirnya jika ada ‘tindakan eskalasi’ atau ‘kelakuan’ yang tidak dapat diterima oleh AS dan sekutunya. Hal ini diperingatkan oleh Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov.

Berbicara kepada wartawan di sela-sela pertemuan menteri BRICS di Nizhny Novgorod, Ryabkov mengakui situasi internasional semakin “rumit” sementara perubahan pada postur nuklir negaranya juga tidak tidak dapat dikesampingkan.

“Tantangan yang semakin besar berkat tindakan AS dan sekutu NATO-nya yang tidak dapat diterima dan eskalasi tidak diragukan lagi mendorong pertanyaan besar tentang bagaimana dokumen dasar dalam pencegahan nuklir dapat lebih disesuaikan dengan kebutuhan saat ini,” kata Ryabkov, seperti dikutip Russia Today, dikutip Minggu (16/6/2024).

Diplomat itu menolak untuk menguraikan sifat pasti dari amendemen potensial tersebut. Namun ia menjelaskan bahwa Moskow tidak memiliki “praktik untuk membahas terlebih dahulu jenis perubahan apa yang dapat dilakukan” sebelum keputusan aktual diambil.

Pernyataan tersebut muncul tak lama setelah Presiden Rusia Vladimir Putin kembali menegaskan sikap Moskow terhadap senjata nuklir sebagai pilihan terakhir. Berbicara dalam panel tanya jawab di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF) pekan lalu, Putin menekankan bahwa Rusia bukanlah negara pertama yang menggunakan retorika nuklir agresif.

Putin menjelaskan bahwa doktrin nuklir negara saat ini hanya memperbolehkan penggunaan senjata atom dalam “kasus-kasus luar biasa” dan situasi saat ini sebenarnya tidak memenuhi syarat seperti itu.

Ia berharap perang nuklir habis-habisan tidak akan terjadi, seraya menambahkan bahwa konflik semacam itu akan mengakibatkan “korban yang tak terbatas” bagi semua orang.

Putin juga memperingatkan negara-negara NATO Eropa agar tidak melakukan retorika dan tindakan agresif, dengan menyatakan bahwa mereka akan menjadi pihak yang paling menderita jika terjadi konflik nuklir global.

“Orang-orang Eropa harus berpikir: jika mereka yang bertukar serangan [nuklir] seperti itu dengan kita musnah, apakah Amerika akan terlibat dalam pertukaran semacam itu, pada tingkat senjata strategis, atau tidak? Saya sangat meragukannya,” kata Putin.

Siaga Perang Nuklir Bisa Pecah Dekat RI, Ini Biang Keroknya

Australia menandatangani kesepakatan yang memungkinkan pertukaran rahasia dan material nuklir dengan Amerika Serikat (AS) dan Inggris, Senin. Hal ini merupakan kelanjutan dari pembuatan kapal selam bertenaga nuklir di Negeri Kanguru tersebut.

Kesepakatan pembuatan kapal selam nuklir sendiri merupakan bagian dari perjanjian keamanan tripartit ketiga negara melalui AUKUS, yang disepakati sejak 2021. AUKUS sebelumnya diyakini menjadi cara Barat menangani semakin masifnya militer China di Asia-Pasifik.

“Perjanjian ini merupakan langkah penting menuju akuisisi Australia atas kapal selam bertenaga nuklir yang dipersenjatai secara konvensional untuk Angkatan Laut Kerajaan Australia,” kata Menteri Pertahanan dan Wakil Perdana Menteri Australia, Richard Marles, dikutip dari AFP, dikutip Selasa (13/8/2024).

“Akuisisi armada kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia akan menetapkan standar nonproliferasi tertinggi,” tambahnya lagi.

Kesepakatan terbaru yang ditandatangani di Washington minggu lalu ini juga menyebut Australia akan bertanggung jawab atas risiko nuklir dari material yang dikirim. Perlu diketahui material nuklir untuk propulsi kapal selam akan ditransfer dari AS atau Inggris dalam “unit daya yang lengkap dan dilas” dan Australia akan bertanggung jawab atas penyimpanan serta pembuangan bahan bakar nuklir bekas dan limbah radioaktif dari unit daya nuklir yang ditransfer berdasarkan kesepakatan tersebut.

“Kapal selam merupakan bagian penting dari kemampuan angkatan laut Australia, yang memberikan keuntungan strategis dalam hal pengawasan dan perlindungan pendekatan maritim kami,” kata kesepakatan transfer tersebut.

Perlu diketahui China mulai melebarkan sayap militer di kawasan. Ini didukung dengan klaim 90% kawasan Laut China Selatan (LCS) melalui konsep “sembilan garis putus-putus”.

China sendiri telah menyebut AUKUS berisiko memprovokasi perpecahan dan meningkatkan risiko perang nuklir di kawasan Pasifik Selatan. Menteri Luar Negeri Wang Yi mengecam perjanjian pertahanan tersebut April lalu.

Dalam kunjungannya ke Papua Nugini untuk memperkuat hubungan dengan sekutu lama Australia, Wang memperingatkankan perjanjian AUKUS “bertentangan” dengan perjanjian Pasifik Selatan yang melarang senjata nuklir di wilayah tersebut. Sebelumnya sejumlah negara ASEAN juga mengkhawatirkan AUKUS karena ada elemen nuklir di dalamnya.

“(AUKUS) meningkatkan risiko proliferasi nuklir yang serius,” kata Wang Yi pada konferensi pers setelah bertemu dengan Menlu Papua Nugini Justin Tkatchenko merujuk ke perang nuklir.

Following in the footsteps of Marco Polo

A report from People’s Daily

My name is Vienna Cammarota. I’m a hiker from Italy. I have been a fan of Italian traveler Marco Polo since childhood, which later led me to become a tour guide. Years of hiking have helped me maintain good health. Even at 75, I still have no need for reading glasses.

About 20 years ago, my interest in China was sparked by a student from Beijing who stayed in my home. The connections we made and the friendships we developed ignited my curiosity about China.

Following that, I found myself drawn to The Travels of Marco Polo, reading it over and over again to understand China through its vivid descriptions. The depiction of the ancient Silk Road in the book particularly fascinated me.

In 2018, the idea of retracing the ancient Silk Road came to me, which inspired me to map out a journey covering 22,000 kilometers from Venice to Beijing, passing through 15 countries in three to four years. At first, my children thought it was unrealistic for me to complete such a long journey in my seventies. However, as they observed my detailed planning, they came around and gave me their full support.

More support came from those I had never met before. Upon conceiving this idea, I published my proposal on the internet in the hope of securing sponsorship. Shortly after, Zhu Yuhua, president of Associazione Cina-Italia di Shanghai (ACIS), reached out to me after seeing the information and expressed his readiness to offer support. He even planned a detailed itinerary and route and arranged for a volunteer team especially to assist me – a team that turned out to be my greatest support during this journey.

My journey began on April 26, 2022, as I departed from Lazzaretto Nuovo island in Venice, with my family and friends giving me a warm send-off. My backpack, weighing 16 kilograms, contained The Travels of Marco Polo, the Venice city flag, and a Chinese sachet, among others.

For more than two years, I overcame practical challenges and psychological pressures, trekked through mountains and waters, and traversed cities and villages across different countries. Along the way, I have gained insights into the history, culture, and customs of each country I visited. As I delved into the remains of the ancient Silk Road, I was struck by the vast changes our world has experienced.

As of now, I have traveled through 14 countries, including Italy, Serbia, Türkiye, Iran, and Kazakhstan.

At every stop, I engaged in deep conversations with local people. These interactions not only enhanced my understanding and appreciation of different ethnic groups and cultures but also provided me with a more comprehensive and insightful perspective on the ancient Silk Road.

Whether it was Cinci Han Caravanserai in Safranbolu, Türkiye, the existing caravanserais in Iran, or the well-preserved historical sites in Khiva, an ancient city in Uzbekistan – all of these evoked the past splendor of the ancient Silk Road.

Just as Chinese President Xi Jinping noted, the ancient Silk Road is a route that greatly boosted the flow of goods, spread of science and technology, interaction of ideas, and integration of diverse cultures on the Eurasian continent.

As I journeyed along this historical route, I witnessed that the Belt and Road Initiative (BRI), carrying forward the legacy of the ancient Silk Road, has benefited more and more people across different countries. Many livelihood projects built by China, including highways, railways, and cross-sea bridges, have brought tangible results to the people in Belt and Road partner countries.

In Croatia, I saw the Peljesac Bridge, constructed by a Chinese enterprises consortium, realizing the centuries-old dream of connecting the south of Croatia with the rest of the country. In Uzbekistan, I visited the Pengsheng Industrial Park, the first investment project by a Chinese private enterprise in Uzbekistan, where Chinese drip irrigation technology had been introduced for large-scale vegetable cultivation, leading to substantial reductions in labor costs. In Tajikistan, I saw Chinese enterprises revitalizing the China-Tajikistan highway.

Lu You, a renowned poet in China’s southern Song dynasty (1127-1279), once said, “What is learned from books is superficial after all. Wisdom comes from real life.” I completely agree with this idea.

Over 700 years ago, Marco Polo amazed Europe with his detailed chronicle of a 24-year journey across Asia, which invoked Westerners’ aspirations for China.

Today, walking on the same “golden ancient route” with Marco Polo’s book in hand, I felt a deep sense of pride. Looking back on my journey, I want to tell friends of my age: Be brave in pursuing your dreams – nothing is impossible!

As planned, I will reach China this summer, a destination I have long yearned for. With my dream about to be fulfilled, I am brimming with excitement. I hope to follow in Marco Polo’s footsteps, gain a deep understanding of today’s China, and continue to sow seeds of friendship along the way.

Vienna Cammarota departs from Lazzaretto Nuovo Island in Venice as Zhu Yuhua, president of Associazione Cina-Italia di Shanghai (ACIS) bids her farewell, April 26, 2022. (Photo provided by Associazione Cina-Italia di Shanghai)